Kipas Angin Antik

Kipas Angin Setia yang Tidak Bisa Berjalan Lagi

(contoh story-telling)

Di sudut ruang keluarga yang teduh, berdiri sebuah kipas angin antik yang telah menjadi bagian dari keluarga selama puluhan tahun. Kipas itu telah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa yang terjadi di rumah itu, dari keceriaan sampai kesedihan. Namun, seiring berjalannya waktu, kipas itu telah menjadi tua dan kini tak lagi bisa berjalan.

Hari itu adalah hari panas yang luar biasa. Udara terasa pengap, dan sinar matahari menyengat hingga membuat siapa pun ingin berlindung di bawah bayang-bayang. Di dalam ruang keluarga, terdengar suara gemuruh ventilasi yang terus berputar, tetapi kipas angin antik itu diam dan terabaikan di pojok ruangan.

“Panasss…,” desah Maya, sambil mengelus dahi yang berkeringat.

“Benar-benar tak tahan,” sahut Rizal, suaminya, sambil menggelengkan kepala. “Mungkin sudah waktunya membeli kipas baru.”

Namun, Maya menatap kipas angin antik di sudut ruangan dengan penuh kasih sayang. “Tapi ini kipas angin pertama yang kita miliki bersama, Rizal. Kenangan kita selalu terkait dengannya.”

Rizal mengangguk mengerti. “Ya, memang begitu. Tapi lihatlah, kipas itu sudah tidak bisa berjalan lagi. Kita butuh yang lebih efisien untuk mengatasi hari-hari panas seperti ini.”

Maya menghela nafas. “Aku tahu, tapi rasanya seperti meninggalkan sepotong masa lalu jika kita membuangnya begitu saja.”

Tiba-tiba, terdengar suara pelan dari sudut ruangan. “Maafkan aku, sahabatku, bahwa aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu untuk menyegarkan udara hari ini,” ucap suara yang samar dari kipas angin antik.

Maya dan Rizal terkejut. Mereka menatap kipas itu dengan penuh keheranan.

“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Maya, tak percaya.

“Saya masih ada di sini, meskipun tubuh saya sudah tua dan tidak bisa berfungsi seperti dulu,” jawab kipas itu dengan suara yang lemah. “Saya selalu berusaha menjaga kenyamanan dan kebahagiaan keluarga ini sejak dulu.”

Rizal menatap kipas itu dengan penuh penghargaan. “Kau adalah teman yang setia, meskipun kini tubuhmu sudah rapuh.”

Maya tersenyum, air mata menggenang di matanya. “Maafkan kami, sahabat lama. Kami tidak pernah menganggapmu sepele.”

Keduanya lalu menghampiri kipas angin antik itu dan duduk di dekatnya. Mereka membagi cerita tentang kenangan-kenangan indah yang mereka miliki bersama kipas itu, dari pertemuan pertama hingga kebahagiaan rumah tangga mereka.

Setelah itu, Maya dan Rizal memutuskan untuk tetap mempertahankan kipas angin antik itu di ruang keluarga mereka, sebagai tanda penghormatan atas kesetiaan dan kehangatan yang telah diberikan selama bertahun-tahun. Meskipun kipas itu tidak bisa berjalan lagi, tetapi kenangan dan makna di baliknya akan tetap abadi dalam hati mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *